Pages

Monday, March 17, 2025

Enterprise Asset Management (EAM) dan Reliability Management dalam Pengelolaan Pembangkit


PLN Nusantara Power UP Kapuas mengelola mesin pembangkit yang tersebar di seluruh Kalimantan Barat, terdiri dari 61 unit mesin pembangkit dengan total daya mampu 134 MW dan berkontribusi untuk mensuplai energi listrik di seluruh sistem kelistrikan Kalbar. Dengan aset sebesar itu, diperlukan tata kelola pembangkit yang mampu menjaga tingkat keandalan. Salah satunya adalah melalui penggunaan Enterprise Asset Management (EAM).

Dalam industri pembangkit listrik, keberlanjutan operasional dan efisiensi adalah dua hal yang sangat penting. Oleh karena itu, manajemen aset yang baik dan pengelolaan keandalan (reliability management) menjadi kunci utama dalam memastikan pembangkit berfungsi secara optimal. Enterprise Asset Management (EAM) dan Reliability Management adalah dua konsep yang saling terkait dan berperan dalam memelihara dan meningkatkan kinerja sistem pembangkit listrik. Meskipun keduanya memiliki fokus yang sedikit berbeda, keduanya bertujuan untuk memperpanjang umur aset, mengurangi downtime, dan mengoptimalkan biaya operasional.

Apa itu Reliability Management?

Reliability Management adalah suatu pendekatan yang berfokus pada pencapaian keandalan dan kinerja optimal dari suatu sistem atau aset. Dalam konteks pembangkit listrik, ini berarti memastikan bahwa seluruh peralatan, mesin, dan sistem operasional berfungsi sesuai dengan standar yang ditetapkan, dengan tingkat kegagalan yang sangat rendah. Reliability management bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah, mencegah kegagalan yang tidak terduga, dan memastikan bahwa sistem pembangkit tetap beroperasi tanpa gangguan besar yang dapat menyebabkan kerugian atau kerusakan lebih lanjut.

source : https://www.abs-group.com/Solutions/Asset-Management/Enterprise-Asset-Management/


 

Hubungan antara EAM dan Reliability Management

EAM dan Reliability Management memiliki hubungan yang erat dalam hal pengelolaan aset pembangkit listrik beberapa aspek di mana keduanya saling melengkapi antara lain:

  1. Peningkatan Keandalan melalui Pemeliharaan Preventif dan Prediktif
    Salah satu aspek utama dalam Reliability Management adalah pengelolaan pemeliharaan yang berbasis pada kondisi dan prediksi potensi kerusakan. EAM menyediakan data dan informasi terkait kinerja aset secara real-time, yang sangat penting untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif. Dengan adanya pemantauan dan analisis data secara terperinci dapat mengidentifikasi tanda-tanda kerusakan sebelum kerusakan besar terjadi. Ini mendukung tujuan reliability management, yang bertujuan untuk meminimalkan downtime dan menjaga keberlanjutan operasional.

  2. Pengelolaan Siklus Hidup Aset
    EAM mengelola seluruh siklus hidup aset dari pembelian hingga penghapusan, memastikan setiap aset digunakan secara optimal. Dalam reliability management, pengelolaan siklus hidup ini sangat penting untuk memaksimalkan masa pakai aset dan memastikan keandalannya. Pemeliharaan yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari EAM memastikan bahwa aset bekerja dengan efisiensi maksimal, mengurangi risiko kegagalan yang dapat terjadi akibat pengabaian atau pemeliharaan yang tidak memadai.

  3. Pengurangan Kegagalan dan Peningkatan Kinerja Aset
    Reliability management berfokus pada pencegahan kegagalan yang dapat merugikan operasi dan menghasilkan biaya yang tinggi. Dengan mengintegrasikan sistem EAM dapat lebih efisien dalam mengelola data aset, mengidentifikasi pola kegagalan, dan merencanakan tindakan perbaikan yang tepat. EAM membantu dalam menyediakan data historis dan informasi teknis yang relevan, yang digunakan untuk memprediksi dan mengatasi potensi kegagalan. Hal ini mendukung tujuan reliability management untuk menjaga aset tetap dalam kondisi optimal dan mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan operasional.

  4. Optimasi Proses Pemeliharaan
    Dalam Reliability Management, pemeliharaan berbasis kondisi sangat penting untuk meningkatkan keandalan aset. EAM menyediakan platform untuk mengintegrasikan pemeliharaan berbasis kondisi dengan teknologi pemantauan real-time. Sistem EAM memungkinkan untuk melaksanakan pemeliharaan yang lebih tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan peralatan, bukannya hanya mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Hal ini sejalan dengan prinsip reliability management yang berfokus pada efisiensi dan keberlanjutan operasional.

  5. Manajemen Risiko dan Keamanan Operasional
    Reliability management berperan penting dalam manajemen risiko untuk memastikan sistem dapat bekerja dengan tingkat risiko kegagalan yang minimal. EAM menyediakan data yang sangat berguna untuk analisis risiko, seperti riwayat pemeliharaan, usia peralatan, serta laporan kinerja yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi kegagalan atau risiko terhadap operasi. Dengan integrasi EAM dapat melakukan penilaian dan mitigasi risiko lebih efektif, sehingga mengurangi kemungkinan downtime dan meningkatkan keamanan operasional.

  6. Pengambilan Keputusan Berbasis Data
    EAM menyediakan data dan laporan yang diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis data dalam pengelolaan aset. Dalam Reliability Management, keputusan-keputusan terkait pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian peralatan sering kali didasarkan pada analisis data yang komprehensif. Dengan EAM dapat lebih akurat dalam menentukan kapan harus melakukan pemeliharaan atau kapan peralatan perlu diganti untuk menjaga keandalan operasional pembangkit.

EAM memberikan dasar data dan informasi yang diperlukan untuk menjalankan strategi reliability management yang lebih baik, mengoptimalkan pemeliharaan, mengurangi risiko kegagalan, serta memastikan bahwa aset-aset pembangkit dapat beroperasi secara optimal dan berkelanjutan. Dengan penerapan kedua konsep ini secara efektif, dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan memastikan pasokan listrik yang stabil dan handal di Kalimantan Barat.

Danan Tri Yulianto ST, MM, MT
PLN Nusantara Power UP Kapuas

Tuesday, February 13, 2024


    

    Kanban merupakan sebuah metode dalam manajemen proyek yang digunakan untuk merapikan dan mengelola proses produksi. Metode ini awalnya dikembangkan oleh Taiichi Ohno, seorang insinyur industri di Toyota, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses manufaktur (En.wikipedia.org, 2023). Sistem Kanban merupakan salah satu alat dalam sistem manufaktur Lean yang dapat mencapai inventaris minimum pada setiap waktu. Sistem Kanban memberikan banyak keuntungan dalam mengelola operasi dan bisnis di organisasi (Rahman et al., 2013). Penggunaan Sistem Kanban merupakan keputusan operasional strategis untuk digunakan dalam garis produksi. Ini membantu meningkatkan produktivitas perusahaan dan sekaligus meminimalkan limbah dalam produksi. Sistem Kanban memerlukan produksi hanya ketika permintaan produk tersedia. Kata "Kanban" berasal dari bahasa Jepang yang secara harfiah berarti "rekam terlihat" atau "bagian terlihat". Pada umumnya, ini merujuk pada sinyal tertentu; dalam konteks manufaktur, ini mengacu pada kartu Kanban. Sistem Kanban berdasarkan konsep pelanggan dari suatu bagian menarik bagian tersebut dari pemasok bagian tersebut.
        Bab ini bertujuan untuk memberikan rangkuman menyeluruh terhadap konten yang telah diuraikan dalam buku "Kanban Mastery: Terobosan Revolusioner dalam Pengelolaan Persediaan untuk Meningkatkan Efisiensi Material Inventori". Sebagai panduan komprehensif, buku ini membawa pembaca ke dalam serangkaian konsep dan langkah-langkah praktis untuk mengoptimalkan pengelolaan persediaan menggunakan metode Kanban. 
        Bab pertama membuka pembicaraan dengan merinci konsep dasar metode Kanban, mulai dari pengertian hingga hubungan dengan Lean Manufacturing. Bab-bab berikutnya membahas langkah-langkah praktis seperti memvisualisasikan proses, mengatur batas, mengidentifikasi jenis persediaan, dan menerapkan Kanban dalam pengelolaan material inventori. Studi kasus dari berbagai industri menambah dimensi praktis kepada pembaca, memperkuat pemahaman mereka tentang implementasi Kanban. 
        Penulis berharap pembaca dapat mengambil wawasan mendalam tentang metode Kanban dan mengimplementasikannya secara efektif dalam berbagai konteks, termasuk pengelolaan persediaan. Dengan menyajikan praktik terbaik, tips, dan strategi, diharapkan pembaca dapat meningkatkan efisiensi operasional mereka. 
        Buku  ini juga berfungsi sebagai jembatan untuk interaksi lebih lanjut antara penulis dan pembaca. Penulis mengundang pembaca untuk memberikan masukan, bertanya, atau berbagi pengalaman melalui berbagai media, menciptakan dialog yang dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam. 
        Dengan demikian, "Kanban Mastery" tidak hanya menjadi buku yang memberikan wawasan mendalam tentang Kanban, tetapi juga sebuah panduan praktis bagi mereka yang ingin menerapkan terobosan revolusioner ini dalam pengelolaan persediaan mereka. Harapannya, buku ini memberikan nilai tambah yang signifikan bagi efisiensi operasional dan strategi pengelolaan inventori pembaca. Semoga pembaca dapat menjadikan metode Kanban sebagai alat utama dalam menghadapi kompleksitas pengelolaan persediaan.

Note; Pembelian buku bisa japri langsung ya, via comment di postingan ini...trims

Sunday, February 11, 2024

Siklus Otto, Aktual dan Ideal (1)

Sumber : Museum Angkut Malang (7 feb 24)

     Siklus otto merupakan siklus ideal untuk jenis mesi n recripocating dengan penyalaan dengan spark atau spark ignition. Siklus ini bisa dijelaskan dengan diagram dari masing-masing kondisi sebagai yang dijelaskan dalam diagram p-v sebagai berikut;



    Kondisi awal kedua valve inteke dan exhaust dalam posisi tertutup dan piston berada di posisi BDC, piston akan bergerak keatas ketika mengalami proses kompresi percampuran udara dan bahan bakar. Sebelum piston mencapai TDC spark akan membantu penyalaan pembakaran sehingga terjadi peningkatan tekanan dan temperature sistem. Tekanan gas yang tinggi hasil dari pembakaran akan mendorong piston kebawah dan dikonversikan menjadi gerak putar oleh crank shaft, energi yang dikonversikan ini merupakan output dari proses expansi atau power stroke. Pada kondisi ini piston berada di posisi bawah atau proses sekali siklus dan cylinder tertinggal hasil proses pembakaran berupa kandungan emisi. Proses berikutnya piston akan kembali bergerak keatas membuang gas hasil pembakaran melalui exhaust valve (exhaust stroke) dan kembali mengambil udara yang telah tercampur dengan bahan bakar melalui intake valve dan kembali melakukan proses kompresi maupun pembakaran berikutnya secara terus menerus. 
    Analisa secara thermodinamic secara sederhana menggunakan siklus otto yang tersiri dari 4 proses meliputi; 
. 
1-2    : Isentropic compression
2-3    : constant-volume heat addition
3-4    : isentropic expansion
4-1    : constant-volume heat rejection

Kesetimbangan energi dalam basis massa dinyatakan sebagai berikut;
Karena berada dalam volume yang konstan, transfer panas bisa dinyatakan 

Efisiensi therma dari siklus otto ini dapat dinyatakan dengan

Proses yang terjadi dari siklus 1-2 dan 3-4 secaara isentropic, sehingga v2=v3 dan v4=v1

Penyederhannan untuk persamaan efisiensi thermal didapat sebagai berikut;
Dengan nilai r adalah;
r adalah compression ratio dan k adalah spesific heat ratio cp/cv.

Bersambung ke artikel berikutnya…




Saturday, October 28, 2023

Prinsip Kerja Mesin Diesel

    Diesel merupakan salah satu mesin konvensi energi yang terjadi secara internal combustion dengan fluida kerja berupa udara yang tidak mengalami perubahan fasa saat proses masuk, terjadinya pembakaran hingga keluar sebagai udara buang melalui cerobong exhaust. Merangkum dari buku Thermodynamic karangan Yunus Cengel yang sering jadi acuan beberapa mata kuliah (bab 9  halaman 488).

    Salah satu jenis konversi energi dalam mesin pembakaran berjenis reciprocating atau bersifat bolak balik memiliki prinsip kerja ketika bahan bakar diumpankan kedalam ruang bakar dan tercampur dengan udara kemudian terkompresi energi (kimia) menjadi panas yang dapat menggerakkan secara mekanis suatu piston. Perubahan energi kimia (pembakaran) menjadi energi kinetik inilah yang dimanfaatkan untuk konversi energi yang dapat dimanfaatkan dalam proses berikutnya, apakah itu menjadi putaran roda ataupun menjadi penggerak generator untuk menghasilkan energi listrik. 

    Mesin diesel adalah salah satu jenis mesin konversi energi dengan prinsip recripocating secara pembakaran internal. Sedangkan fluida kerjanya adalah udara yang tidak mengalami peubahan fasa dan hanya mengalami perubahan secara volume maupun tekananya. Secara sederhana prinsip kerja mesin diesel dalam PLTD dapat dijelaskan sebagai berikut; perta bahan bakar dalam tanki bahan bakar misal MFO, HSD mapun B30 yang dialirkan dari daily tank dipompakan kedalam nozzle yang berfungsi sebagai pengabut yang menerima injeksi bahan bakar bertekanan tinggi dan temperature juga naik seiring kenaikan tekanan fluida. Supplai udara kedalam diesel dialirkan dari tanki udara melalui air intake system kemudian dialirkan melalui turbocharger untuk lebih mengefisiensikan dengan meningkatkan tekanan udara yang masuk. Turbocharger sendiri bekerja seperti mesin kompresi sentrifugal yang mendapat daya turbinnya dari gas buang. Tekanan yang dicapai udara mencapai 500 psi (34 bar) dan temperature 600 degC kemudian dialirkan ke ruang bakar secara simultan dengan aliran bahan bakar. Udara bertekanan dan temperatur tinggi yang masuk dalam silinder di ruang bakar akan membantu terjadinya self ignition dari bahan bakar ketika disemprotkan sehingga terjadi “ledakan” sehingga dapat menggerakkan torak yang dihubungkan dengan poros engkol oleh batang penggerak dan menyebabkan pergerakan secara rotasi poros rotor (generator) dan dikonversikan menjadi energi listrik.

    Mesin diesel menggunakan prinsip reciprocating memiliki komponen utama yang berperan dalam mekanisme konversi energi seperti pada gambar berikut;

.
Terdapat dua posisi piston berupa TDC atau Top Dead Center dan BDC Bottom Dead Center. TDC menunjukkan posisi piston ketika berada diatas dan memiliki luasan dan volume paling sedikit kebalikannya dengan BDC yang memiliki besaran volume yang paling besar. Jarak antara TDC dan BDC yang juga jarak yang dilalui piston ketika terjadi mekanisme reciprocating dikenal dengan stroke. Bagian berikutnya adalah bore yang merupakan diameter piston. Suplai campuran udara dan bahan bakar ke ruang bakar (cylinder) memlaui intake valve dan hasil pembakaran dibuang melalui exhaust valve. Rasio kompresi ditunjukkan dengan perbandingan maximum volume dengan minimum (clearence) volume;
Energi yang dihasilkan (net work) menggunakan pendekatan yang melibatkan formula Mean Effective Pressure (MEP) dengan memperhitungkan area piston dan jarak stroke dari piston. 
                Wnet = MEP x Piston Area x Stroke = MEP x Displacement Volume
MEP bisa digunakan sebagai parameter pembanding untuk mengukur tingkat perfomance mesin dan semakin besar MEP menunjukkan energi yang dihasilkan lebih besar dan performa lebih bagus (secara ideal). 

Wnet menunjukkan luasan dari jarak Vmax ke Vmin dan seberapa besar mean effective pressure ditunjukkan dengan gambar dan rumus diatas.
_|Berlanjut ke siklus Otto|_


Sunday, August 7, 2022

Numerical Study Of Gas Mixing Effect On Block 3 & 4 Muara Tawar’s Gas Turbine Combustion Stability

DOI: 10.1007/978-981-19-1581-9_33

Abstract. Gas turbine operation’s disturbances related to combustion that lead to flame instability greatly influenced by the setting of fuel and air which is adjusted according to gas availability during commissioning. Meanwhile, gas turbine must be able to operate using a variety of natural gases or its mixing depending on the system and gas availability. This study presents the numerical simulation to obtain the combustor’s characteristics by analysis the flame stabilization, temperature distribution, and Nox emission by varying the fuel gas sourced and air mass flow. The numerical analysis has shown that fuel with higher CH4 contains will tend the ombustion become more unstableand and stabilized by the inner recirculation zone. The more excess air also provide more stable combustion as flame lenght decrease, but too much excess air will decrease the total temperature. NOx emission produced from the combustion which produce higher temperature from methane and excess air effect. The recommendation of the research results is to provide a limitation of the composition of the gas mixing and the fuel air ration to obtain the combustion stability. The results of the study simulate that it is possible to use three condition of fuel gas in combustion system.


Keywords: gas composition, stability, temperature distribution, emission NOx, excess
air.

1. Introduction

Power plants managed by PT PJB UP Muara Tawar operates as peak load (peaker) with periodic
start-stop operation. Block 3 and 4 operate V 94.2 Siemens’s type gas turbines. Natural gas as gas turbine
fuel comes from 3 different suppliers, Nusantara Regas (NR), Pertamina EP (PEP) and PGN with their
chemical composition values. Gas turbine operation’s disturbances related to combustion that lead to
flame instability greatly influenced by the setting of fuel and air which is adjusted according to gas
conditions during commissioning. Meanwhile, gas turbine must be able to operate using a variety of
natural gases or its mixing depending on the Java-Bali grid system and gas availability.
There are several studies that have been done to investigate the various gases on combustion system
depend on the gas turbine type For example the author [1] in this study present the simulation on
combustion of methane and biogas mixture within can-type of gas turbine combustion chamber.The
analysis shown that biogas with lower methane contain leads to the lowering flame temperature whose
effect reduce NO emissions. Author [2] aim to examinate different fuels that affect the output character
istics and highlights the benefits of using fuels with higher hydrogencarbon ratios including higher
power, higher efficiency, and lower carbon emissions. Author [3] the investigation to analyze the V94.2
gas turbine’s fluid flow and heat transfer on burner performance.
Based on these previous studies, the research is carried out by evaluating and optimizing the
combustion characteristics and temperature distribution by varying the fuel gas sourced and provide a
limitation of the composition of the gas mixing and the ratio of air to fuel (air fuel ratio) to obtain the
combustion stability.
2. Methods
Prior to the combustion simulation in the burner, the geometry is made to check whether it is close
to the actual condition based on the parameters in the gas turbine operating parameters. The geometry
(figure 1) test is done by simulating the fuel inlet, air inlet and combustion chamber outlet in one of the
operating conditions based on the composition of the gas used then the parameter results, especially
several points of turbine inlet temperature and turbine inlet pressure, are compared with operating
parameters as seen on table 1.


The result of comparation between operating and simulation condition shown that the temperature
on inlet turbine from four point of calculation gave arround 1% until 5% of error as shown on table 4.2.
This lead that the geometry check has similarity with operating condition.


The simulation’s result the temperature outlet of combustion chamber has similarity compared to
operation condition. Methane is a fuel gas contain that used as the reference of this analysis. Since the
actual composition during operating of the Muara Tawar’s gas turbine couldn’t accurately calculate (no
gas chromatograph to sense mixing gas) there were three gas classification, high composition (CH4
94%), medium (CH4 87%) and low (CH4 71%).
3. Result and discussion
3.1 Flame Stability
The flame length is one of the stability parameters combustion mechanism which closely related to
the mixing of fuel and air. The increasing of flame length indicated the combustion happened away from
the burner tip and tend to flame becomes unstable. The combustor design that applied the air swirl help
to increase the combustion intensity and reduce the flame length. Swirl flow also provided an angular
velocity to the axial incoming flow to produce a central recirculation zone (CRZ) which provides the
main flame stabilization.



As seen on figure 1 the flame length combustion with fuel with a methane content of 94% produces the
longest flame length arround 4.7 m from burner tip. Amer and Gad [4] studied experimentally the effect  of increasing air to fuel ratio on experimental study of LPG combustion. Increasing the air to fuel mass
ratio (excess air) from 5% to 20%, the flame length decreases by about 6% to 16%. The flame length
that indicated the lift will be stabilized by inner recirculation zone.



Recirculation zone on figure 2 showed the negative axial velocity in the center of the combustion
chamber indicates the presence of an inner recirculation zone due to circulating air flow made by swirl
air inlet which results in a vortex breakdown process and initiates a recirculation zone in the center of
the combustion chamber. The composition of the fuel with a higher methane content results in a wider
circulation zone when compared to fuel with a lower methane content as seen on figure 2. The length of
recirculation about 3.4 m and for low methane reached 2.1 m. The result of analysis clearly explain on
figure 3 that calculate on each gas composition and excess air.



The addition of excess air changes the characteristics of the recirculation zone, the more excess air
resulting in shorter recirculation center distances with a larger recirculation zone area. Hong, et al [5]
made some study on recirculation zone as excess air raised. The higher temperature of the products
reduces the velocity gradient in the shear layer and thus the reattachment length. The addition of 5%
excess air reaching 504 kg/s resulted in a recirculation center distance of 2.38 m from the burner tip.
3.2 Temperature Distribution
Combustion process is a reaction between fuel gas and oxygen in the air. The result of this process
were carbon dioxide (CO2), water (H2O), and a great deal of energy. The higher methane content, the
higher the maximum temperature reached. The length of maximun temperature also increases from the
tip burner. The addition of excess air as showed on figure 4 shows that as the amount of air increases,
the temperature to the outlet will decrease this is due to the combustion losing a certain amount of energy
because too much air enters the combustion chamber.


The addition of excess air from 15% to 20% does not cause a significant increase in maximum
temperature and energy. The combustion efficiency increases with increased excess air until the heat
loss in the excess air is larger than the heat from combustion. Munir et al [6] evaluate the effect of excess
air on combustion concluded that an optimum air fuel ratio should be maintained to ensure complete
combustion as well as to decrease the excessive losses due to surplus air.
3.3 NOx Emission Characteristic
Nox emission is produced by the oxidation of atmospheric nitrogen in high temperature regions of
the combution flame and postflame gases at the outlet. Previously reported sitgnificant effects on NOx
characteristic by Thomson, et al [6] that the nitric oxide formation rate in post flame gases of
hydrocarbon flames (T > 1800°K) and follows the Zeldovich chain mechanism. The combustion process
will lead the creation of nitrogen oxides from nitrogen from air or gas fuel. At higher temperatures both
can react to form NOx in large quantities. The formation of the NOx mass fraction in combustion with
variations in the methane content shows a higher value due to ethane increasesing as shown in figure 5.


The addition ofexcess air in combustion will also affect the reaction of NOx mass fraction as a result
of combustion temperatures that becone lower. This is the point that the excess air become too much.
as excess air.
4. Conclusion
The analyses were carried out for combustion characteristic for gas turbine type V94.2 using several
composition of natural gas that being used as fuel in Muara Tawar power plant. Through the numerical
simulations it was possible to notice that:
The more flame lenght on Fuel with a greater methane content results the flame lenght increasing
and tend to unstable combustion.
The CRZ distance is about 3.4 m and with a methane content of 94% and the more excess air will
lead the CRZ becomes shorter but the area of recirculation become wider.
The addition of excess air causes the temperature to decrease at the outlet area of the combustion
chamber due to combustion losing some energy because too much air enters the combustion chamber.
Temperature plays an important role in the formation of the mass fraction of NOx, the lower the
temperature the less mass fraction of NOx is produced.
The addition of excess air of about 5% provides the most optimal combustion stability and emission
factor values.
The results of the analysis clearly demonstrate that it is possible to use such fuels in combustion
systems with swirl burners.